NU
NU DARI MASA KE MASA Nahdlatul Ulama (NU)
berdiri 1926 adalah
sebagai organisasi
kemasyarakatan atau
jam’iyah, bukan partai politik, bukan institusi
politik, tapi tak bisa
dipungkiri dan dihindarai
bahwa sejak kelahirannya
NU telah bersinggungan
dengan ruang politik. Pada tahun 1940-1943 NU
masuk MIAI yang
kemudian menjadi
Masyumi. Masyumi
dibentuk dimaksudkan
untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat
Islam. Tahun 1945 Raisul
Akbar Hadrotussyaikh KH
Hasyim As ’ary mengeluarkan fatwa
resolusi jihad untuk
menghadapi tentara nicca
belanda. Dan pada tahun-
tahun berikutnya NU juga
tak tinggal diam menghadapi PKI. Ada satu
hal yang perlu dicatat
bahwa, kelahiran NU itu
sendiri sebagai respon
atas munculnya Islam
wahabisme atau Islam reformis yang
menyatakan dirinya
sebagai kaum pambaharu
Islam. Melihat sisi historis
demikian maka boleh
dikata semenjak kelahirannya NU telah
berpolitik, barulah pada
tahun 1952 Muktamar NU
ke 19 di palembang, NU
resmi menyatakan diri
sebagai partai politik setelah keluar dari
Masyumi. Dari pemilu
1955 sampai
pemilu 1971 NU berhasil
meraih suara cukup
menggembirakan, NU benar-benar bermain di
arena politik, NU punya
bargaining cukup tinggi,
NU punya banyak wakil di
DPR, para ulama sepuh
NU juga masih banyak. sampai disini NU masih
berjaya. Barulah pada
tahun 1973 NU mulai
melewati masa awal
perpecahan. Semua partai
Islam termasuk NU harus fusi dalam satu partai
yaitu Partai Persatuan
Pembangunan(PPP). PPP
tak ubahnya seperti
Masyumi dulu,
perselisihan antar kelompok dalam tubuh
PPP terus terjadi tak
kunjung usai. Kasus yang
terjadi di PPP serupa
dengan yang terjadi di
Masyumi – NU selalu dimarjinalkan. NU dalam
posisi rumit, bikin partai
tak boleh, memperbaiki
PPP juga suatu hal yang
sangat sulit karena PPP
dan PDI saat itu merupakan boneka orde
baru. Disinilah titik awal
dimulainya perpecahan
warga NU, dimana
pemerintah Orba salah
satu factor utama dalam penghancuran NU. NU
selanjutnya hanya
berpolitik secara moral
yang sulit
dipertanggungjawabkan
hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para
kadernya di PPP, sedang
NU sendiri hanya bisa
bermain diluar arena. Pola
dukung mendukung oleh
NU mulai dijalankan. NU terkadang
bermetamorfosa dari
hijau menjadi merah
ketika Gus Dur mendekati
Mega yang waktu itu kita
kenal dengan istilah Mega- Gus Dur untuk menandingi
PDI Suryadi. Atau
terkadang NU berubah
ujud dari hijau ke kuning
ketika Gus Dur mengajak
warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-
Golkar di berbagai daerah
beberapa tahun silam
sebelum reformasi.
Setelah reformasi
bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU
untukmengembalikan
kejayaan NU dimasa silam.
Toh demikian masih
terlalu berat jika NU
menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan
PKB dimana PKB
diharapkan menjadi satu-
satunya partai NU yang
berakses ke PBNU. NU
sendiri bukanlah partai tapi NU punya sayap
politik yaitu PKB. Betapa
hebat respon masyarakat
terhadap lahirnya PKB, Ini
wajar saja karena warga
NU benar-benar haus dengan partai NU setelah
32 tahun NU dipinggirkan.
Namun tampaknya
harapan hanya tinggal
harapan, PKB yang
diharapkan menjadi sayap politik NU justeru berjalan
sendiri bahkan senantiasa
berseberangan dengan NU
structural. Antara PKB dan
NU mulai ada tanda-tanda
kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu
Matori Abdul jalil yang
sebenarnya NU tidak
menghendaki. Ketidak
serasian NU-PKB ini
diperuncing lagi ketika NU punya gawe mencalonkan
Hasyim Muzadi menjadi
cawapres Mega. Dengan
susah payah NU
menggerakkan warganya
dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat
ranting untuk
mengegolkan jagonya
yaitu Hasyim Muzadi
menjadi Cawapres, tapi
PKB saat itu justeru mendukung Wiranto-
Wahid dari Golkar,
diteruskan pada pilpres
putaran kedua PKB
mendukung SBY-JK. Cukup
sudah PKB menyodok NU saat itu. Mulai dari itu PKB
dianggap bukan lagi
partai sayap politik NU
karena PKB terlalu jauh
meninggalkan NU. Waktu
terus berlalu PKB bukan semakin baik, PKB
justeru terus mengalami
perpecahan, sementara
NU-pun tak bisa berbuat
banyak. Perpecahan
warga NU-pun tak bisa dihindari, Perpecahan itu
kini sampai ketingkat
paling bawah. Satu
keluarga saja berbeda
dalam pemilihan, ini
disebabkan karena beberapa kyai dalam satu
pondok pesantren juga
berbeda-beda dalam
pilihan. Perpecahan warga
NU telah sampai pada
tatanan masyarakat terbawah. Saat ini benar-
benar luar biasa
perpecahan warga NU,
dan inilah yang sungguh-
sungguh dan harus
menjadi keprihatinan para petinggi NU. Apalagi kini
muncul pilkada langsung,
pileg langsung yang
terjadi di semua daerah di
Indonesia baik di tingkat
pusat, propinsi maupun kabupaten. Sistem pilihan-
pilihan langsung ini juga
turut serta andil dalam
memporak porandakan
NU, karena NU didaerah
dengan giatnya juga menggerakkan institusi
NU untuk menggiring
warganya. Akibatnya
adalah terjadinya
perpecahan secara meluas
di kalangan warga NU. NU kini telah tercabik-cabik,
bukan NU secara
kelembagaan yang pecah
tapi warga NU bingung
tak tahu kemana harus
berpihak. Ikut ini didukung ulama, ikut
yang itu juga didukung
ulama yang akhirnya
Fatwa ulama itu sendiri
menjadi tidak berbobot
dan tidak didengar lagi oleh warga NU, pada
gilirannya partai-partai
yang berbasis NU menjadi
gembos, sementara PKS
sebuah partai yang
mengusung isme wahabi telah besar dan nyata
dihadapan kita.
Bagaimana prospek NU
kedepan? Dimanakah
rumah warga NU
sebenarnya? Akankah NU masih akan seperti ini,
ataukah NU sebaiknya
menjadi partai saja seperti
yang diramalkan banyak
penulis akhir-akhir ini
bahwa NU akan menjadi partai? kalau NU menjadi
partai, apakah yakin
partai NU nanti akan
menjadi partai besar?
juga kalau NU menjadi
partai bagaimana jam’iyahnya? Yakinkah jam’iyah NU tidak akan terbengkelai? tapi kalau
NU tetap tidak menjadi
partai, apakah NU hanya
akan bermain diluar arena
terus menerus seperti
sekarang ini? Carut-marut perpolitikan
NU saat ini sudah sangat
rumit. Musuh sudah pakai
senjata api kita masih
berebut senjata bambu.
Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan
terjawab dalam
muktamar NU mendatang.
Dibawah ini secara
kronologis fluktuasi
perpolitikan NU TAHUN 1926 Nahdlatul Ulama(NU)
berdiri menjadi
Jam’iyyah sebagai respon atas munculnya
kaum pembaharu Islam
yang ingin merubah
tatanan Islam tradisional
dengan slogan kembali ke
Qur’an Hadits dan dengan mudahnya
membid’ahkan serta mensyirikkan amalan-
amalan Islam tradisional. .
TAHUN 1940 – 1943 NU memjembatani
berdirinya sebuah
organisasi Islam bernama
Majlis Islam A ’la Indonesia(MIAI) yang
kemudian organisasi ini
berubah menjadi
Masyumi. TAHUN 1945 NU
mengikuti Kongres
Umat Islam Indonesia di yogyakarta tanggal 7
November 1945 dimana
kongres itu menetapkan/
memutuskan bahwa umat
Islam harus mendirikan
sebuah partai politik Islam
NU 1
SEJARAH BERDIRINYA NU SEJARAH NU Ada tiga
orang tokoh ulama yang
memainkan peran sangat
penting dalam proses
pendirian Jamiyyah
Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab
Chasbullah (Surabaya asal
Jombang), Kiai Hasyim
Asy ’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan).
Mujammil Qomar, penulis
buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme
Ahlussunnah ke
Universalisme Islam ”, melukiskan peran
ketiganya sebagai berikut
Kiai Wahab sebagai
pencetus ide, Kiai Hasyim
sebagai pemegang kunci,
dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya. Tentu
selain dari ketiga
tokoh ulama tersebut ,
masih ada beberapa tokoh
lainnya yang turut
memainkan peran penting. Sebut saja KH.
Nawawie Noerhasan dari
Pondok Pesantren
Sidogiri. Setelah meminta
restu kepada Kiai Hasyim
seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh
Kiai Hasyim diminta untuk
menemui Kiai Nawawie.
Atas petunjuk dari Kiai
Hasyim pula, Kiai
Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim
untuk membuat lambang
NU- juga menemui Kiai
Nawawie. Tulisan ini
mencoba mendiskripsikan
peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan
tokoh-tokoh ulama
lainnya dalam proses
berdirinya NU. Keresahan
Kiai Hasyim Bermula dari
keresahan batin yang melanda Kiai
Hasyim. Keresahan itu
muncul setelah Kiai Wahab
meminta saran dan
nasehatnya sehubungan
dengan ide untuk mendirikan jamiyyah /
organisasi bagi para
ulama ahlussunnah wal
jamaah. Meski memiliki
jangkauan pengaruh yang
sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan
melibatkan para kiai dari
berbagai pondok
pesantren ini, Kiai Hasyim
tak mungkin untuk
mengambil keputusan sendiri. Sebelum
melangkah, banyak hal
yang harus
dipertimbangkan, juga
masih perlu untuk
meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai
sepuh lainnya. Pada
awalnya, ide
pembentukan jamiyyah
itu muncul dari forum
diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai
Wahab pada tahun 1924 di
Surabaya. Forum diskusi
Tashwirul Afkar yang
berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian
Kiai Wahab dan para kiai
lainnya terhadap gejolak
dan tantangan yang
dihadapi oleh umat Islam
terkait dalam bidang praktik keagamaan,
pendidikan dan politik.
Setelah peserta forum
diskusi Tashwirul Afkar
sepakat untuk
membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa
perlu meminta restu
kepada Kiai Hasyim yang
ketika itu merupakan
tokoh ulama pesantren
yag sangat berpengaruh di Jawa Timur. Setelah
pertemuan
dengan Kiai Wahab itulah,
hati Kiai Hasyim resah.
Gelagat inilah yang
nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan
yang terkenal sebagai
seorang ulama yang
waskita (mukasyafah).
Dari jauh ia mengamati
dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai
Hasyim. Sebagai seorang
guru, ia tidak ingin
muridnya itu larut dalam
keresahan hati yang
berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil
kemudian memanggil
salah seorang santrinya,
As ’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal
sebagai KH. As ’ad Syamsul Arifin, Situbondo)
yang masih terhitung
cucunya sendiri. Tongkat
“Musa” “Saat ini Kiai Hasyim sedang resah.
Antarkan
dan berikan tongkat ini
kepadanya, ” titah Kiai Cholil kepada As ’ad. “Baik, Kiai,” jawab As ’ad sambil menerima tongkat itu. “Setelah membeerikan tongkat,
bacakanlah ayat-
ayat berikut kepada Kiai
Hasyim, ” kata Kiai Cholil kepada As ’ad seraya membacakan surat Thaha
ayat 17-23. Allah
berfirman:
”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai
musa? Berkatalah Musa :
‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya,
dan aku pukul (daun)
dengannya untuk
kambingku, dan bagiku
ada lagi keperluan yang
lain padanya ’.” Allah berfirman:
“Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat
itu, maka tiba-tiba ia
menjadi seekor ular yang
merayap dengan cepat
”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan
mengembalikannya
kepada keadaan semula,
dan kepitkanlah
tanganmu ke ketiakmu,
niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa
cacat, sebagai mukjizat
yang lain (pula), untuk
Kami perlihatkan
kepadamu sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar. ” Sebagai bekal perjalanan
ke Jombang, Kiai Cholil
memberikan dua keeping
uang logam kepada
As ’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang.
Setelah berpamitan,
As ’ad segera berangkat ke Jombang untuk
menemui Kiai Hasyim.
Tongkat dari Kiai Cholil
untuk Kiai Hasyim
dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As ’ad memilih berjalan kaki ke Jombang.
Dua keeping uang logam
pemberian Kiai Cholil itu ia
simpan di sakunya
sebagai kenagn-
kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu
teramat berharga untuk
dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang,
As ’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim.
Kedatangan As ’ad disambut ramah oleh Kiai
Hasyim. Terlebih, As ’ad merupakan utusan khusus
gurunya, Kiai Cholil.
Setelah bertemu dengan
Kiai Hasyim, As ’ad segera menyampaikan
maksud kedatangannya,
“Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk
mengantarkan dan
menyerahkan tongkat
ini,” kata As ’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima
tongkat itu dengan penuh
perasaan. Terbayang
wajah gurunya yang arif,
bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama
menjadi santri juga
terbayang dipelupuk
matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai
Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As ’ad. Kemudian As ’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat
tersebut dibacakan dan
merenungkan
kandungannya, Kiai
Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil
tak keberatan apabila ia
dan Kiai Wahab beserta
para kiai lainnya untuk
mendirikan Jamiyyah.
Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah
terus dimatangkan. Meski
merasa sudah mendapat
lampu hijau dari Kiai
Cholil, Kiai Hasyim tak
serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan
jamiyyah. Ia masih perlu
bermusyawarah dengan
para kiai lainnya,
terutama dengan Kiai
Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok
Pesantren Sidogiri.
Terlebih lagi, gurunya
(Kiai Cholil Bangkalan)
dahulunya pernah
mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin
Noerchotim, ayahanda
Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim
meminta Kiai Wahab
untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah
mendapat tugas itu, Kiai
Wahab segera berangkat
ke Sidogiri untuk
menemui Kiai Nawawie.
Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju
kediaman Kiai Nawawie.
Ketika bertemu dengan
Kiai Nawawie, Kiai Wahab
langsung menyampaikan
maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan
dengan seksama
penuturan Kiai Wahab
yang menyampaikan
rencana pendirian
jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula
langsung mendukungnya,
melainkan memberikan
pesan untuk berhati-hati.
Kiai Nawawie berpesan
agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-
hati dalam masalah uang.
“Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau
butuh uang, para
anggotanya harus
urunan.” Pesan Kiai Nawawi. Proses dari sejak
Kiai Cholil
menyerahkan tongkat
sampai dengan
perkembangan terakhir
pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup
lama. Tak terasa sudah
setahun waktu berlalu
sejak Kiai Cholil
menyerahkan tongkat
kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang
diidam-idamkan tak
kunjung lahir juga.
Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil,
maskih tetap dipegang
erat-erat oleh Kiai Hasyim.
Tongkat itu tak kunjung
dilemparkannya sehingga
berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal
berguna bagi ummat
Islam. Sampai pada suatu
hari,
As ’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim
dengan membawa titipan
khusus dari Kiai Cholil
Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil
untuk menyerahkan
tasbih ini,” kata As ’ad sambil menyerahkan
tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan
bacaan Ya Jabbar Ya
Qahhar setiap waktu,” tambah As ’ad. Entahlah, apa maksud di balik
pemberian tasbih dan
khasiat dari bacaan dua
Asma Allah itu. Mungkin
saja, tasbih yang
diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat
agar Kiai Hasyim lebih
memantapkan hatinya
untuk melaksanakan
niatnya mendirikan
jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa
jadi sebagai doa agar niat
mendirikan jamiyyah
tidak terhalang oleh
upaya orang-orang
dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah
dua Asma Allah yang
memiliki arti hampir
sama. Qahhar berarti
Maha Memaksa (kehendaknya pasti
terjadi, tidak bisa
dihalangi oleh siapapun)
dan Jabbar kurang lebih
memiliki arti yang sama,
tetapi adapula yang mengartikan Jabbar
dengan Maha Perkasa
(tidak bisa dihalangi/
dikalahkan oleh
siapapun). Dikalangan
pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan
amalan untuk
menjatuhkan wibawa,
keberanian, dan kekuatan
musuh yang bertindak
sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih
dan amalan itu, tekad Kiai
Hasyim untuk mendirikan
jamiyyah semakin
mantap. Meski demikian,
sampai Kiai Cholil meninggal pada 29
Ramadhan 1343 H (1925
M),jamiyyah yang
diidamkan masih belum
berdiri. Barulah setahun
kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi ” yang ditunggu-tunggu itu
lahir dan diberi nama
Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama
sepakat mendirikan
jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim
meminta Kiai Ridhwan
Nashir untuk membuat
lambangnya. Melalui
proses istikharah, Kiai
Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan
bintang sembilan. Setelah
dibuat lambangnya, Kiai
Ridhwan menghadap Kiai
Hasyim seraya
menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya.
“Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta
kamu sowan ke Kiai
Nawawi di Sidogiri untuk
meminta petunjuk lebih
lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan
membawa sketsa gambar
lambang NU, Kiai Ridhwan
menemui Kiai Nawawi di
Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat
gambar lambang NU.
Setelah saya buat
gambarnya, Kiai Hasyim
meminta saya untuk
sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih
lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya
menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang
gambar lambang NU
secara seksama, Kiai
Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar
bumi dan sembilan
bintang. Namun masih
perlu ditambah tali untuk
mengikatnya. ” Selain itu, Kiai Nawawie jug a
meminta supaya tali yang
mengikat gambar bumi
ikatannya dibuat longgar.
“selagi tali yang mengikat bumi itu masih
kuat, sampai kiamat pun
NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Bapak Spiritual Selain
memiliki peran
yang sangat penting
dalam proses pendirian
NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya
masih ada satu peran lagi,
peran penting lain yang
telah dimainkan oleh Kiai
Cholil Bangkalan. Yaitu
peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU.
Dalam tinjauan Mujammil
Qomar, Kiai Cholil layak
disebut sebagai bapak
spiritual NU karena ulama
asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya
dalam menumbuhkan
tradisi tarekat, konsep
kewalian dan haul
(peringatan tahunan hari
kematian wali atau ulama). Dalam ketiga
masalah itu,
kalangan NU berkiblat
kepada Kiai Cholil
Bangkalan karena ia
dianggap berhasil dalam menggabungkan
kecenderungan fikih dan
tarekat dlam dirinya
dalam sebuah
keseimbangan yang tidak
meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua
aspek fikih dan tarekat itu
pula yang secara
cemerlang berhasil ia
padukan dalam mendidik
santri-santrinya. Selain membekali para santrinya
dengan ilmu-ilmu lahir
(eksoterik) yang sangat
ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal
1000 bait nadzam Alfiah
Ibn Malik, ia juga
menggembleng para
santrinya dengan ilmu-
ilmu batin (esoterik). Kecenderungan yang
demikian itu bukannya
tidak dimiliki oleh pendiri
NU lainnya. Tokoh lainnya
seperti Kiai Hasyim,
memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam
bidang pengajaran kitab
hadits shahih Bukhari,
namun memiliki
pandangan yang kritis
terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul.
Kiai Hasyim merupakan
murid kesayangan dari
Syaikh Mahfuzh at Tarmisi.
Syaikh Mahfuzh adalah
ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab
hadits Shahih Bukhari di
Mekkah. Syaikh Mahfuzh
diakui sebagai seorang
mata rantai (isnad) yang
sah dalam transmisi intelektual pengajaran
kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh
Mahfuzh berhak
memberikan ijazah
kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai
kitab Shahih Bukhari.
Salah seorang muridnya
yang mendapat ijazah
mengajar Shahih Bukhari
adalah Kiai Hasyim Asy ’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran
kitab hadits Shahih
Bukhari ini diakui pula
oleh Kiai Cholil Bangkalan.
Di usia senjanya, gurunya
itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan
puasa) kepada Kiai
Hasyim. Ini merupakan
isyarat pengakuan Kiai
Cholil terhadap derajat
keilmuan dan integritas Kiai Hasyim. Sebagai
ulama yang
otoritatif dalam bidang
hadits, Kiai Hasyim
memiliki pandangan yang
kritis terhadap perkembangan aliran-
aliran tarekat yang tidak
memiliki dasar ilmu
hadits. Ia menyesalkan
timbulnya gejala-gejala
penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-
tengah masyarakat. Untuk
itu, ia menulis kitab al
Durar al Muntasyirah fi
Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk
praktis agar umat Islam
berhati-hati apabila
hendak memasuki dunia
tarekat. Selain kritis dalam
memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam
memandang
kecenderungan kaum
Muslim yang dengan
mudah menyatakan
kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan
dapat
dipertanggungjawabkan
secara teologis. Terhadap
masalah ini, Kiai Hasyim
memberikan pernyataan tegas: “Barangsiapa mengaku dirinya sebagai
wali tetapi
tanpa kesaksian mengikuti
syariat Rasulullah SAW,
orang tersebut adalah
pendusta yang membuat perkara tentang Allah
SWT.” Lebih tegas beliau menyatakan: “Orang yang mengaku dirinya
wali Allah SWT,
orang tersebut bukanlah
wali yang sesungguhnya
melainkan hanya wali-
walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir
al-khushusiyyah (rahasia-
rahasia khusus) dan dia
membuat kedustaan atas
Allah Ta ’ala.” Demikian pula terhadap
masalah haul. Selain Kiai
Hasyim, para pendiri NU
lainnya seperti Kiai Wahab
dan Kiai Bisri Syansuri
juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan
mereka menolak untuk di-
haul-i (Qomar, 2002).
Akan tetapi di kalangan
NU sendiri, acara haul
telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan
sampai sekarang. Para
wali atau kiai yang
meninggal dunia, setiap
tahunnya oleh warga
nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian
kegiatan seperti ziarah
kubur, tahlil dan ceramah
agama untuk mengenang
perjuangan mereka agar
dapat dijadikan teladan dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat,
konsep kewalian dan haul
yang mendapat kritikan
pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru
ditradisikan di kalangan
NU? Apakah warga NU
sudah tidak lagi
mengindahkan peringatan
Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya,
menurut Mujammil
Qomar, agak sulit,
mengingat NU bisa
berkembang pesat juga
karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam. Penulis: Moh. Syaiful Bakhri Penulis
buku “Syaikhona Cholil Bangkalan: Ulama
Legendaris dari Madura” dan sekretaris Lajnah
Ta’lif Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan.
Pemuatan artikel ini juga
merupakan
penghormatan dan
dukungan moril kepada
PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha mendorong
terciptanya masyarakat
yang maju, sejahtera dan
berakhlakul karimah
dengan menerbitkan
buletin dua bulanan. Semoga usaha penerbitan
ini bisa istiqamah. SUMBER
http://
pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/
ppssnh.malang/cgi-bin/
content.cgi/artikel/ kilas_sejarah_pendirian_nu.single

POLITIK NU

Insane